orang dewasa.

sya ᥫ᭡
4 min readMar 23, 2024

--

Photo by Maxim Hopman on Unsplash

Mukanya tenggelam di antara lapisan buku, seperti biasa Caca menghabiskan waktu istirahatnya di kelas berduaan dengan novel. Aku menyipitkan mata, memusatkan semua kekesalanku melasernya dengan tatapanku karena lagi-lagi diriku menjadi tumbal mengantri di kantin. Efektif kalau kata Caca si kutu buku itu, lebih baik satu orang mengantri daripada dua orang dengan belanjaan sama tapi menghabiskan lebih banyak oksigen di kantin. Ada benarnya, tapi kan harusnya bergantian tiap hari, lah ini kok aku terus yang dikorbankan melawan puluhan manusia kelaparan. Tahu kan betapa ganasnya manusia saat perutnya meronta-ronta setelah 2 jam belajar!

Aku berjalan mendekat sambil memastikan pesanannya lengkap. Ada 2 tusuk telur puyuh sambal pedas manis, air mineral botolan, roti tawar bungkusan, salad sayur, dan lima tusuk cilok saus manis sebagai penutup, semuanya masing-masing dua porsi. Sudah begitu teknikku dari dulu supaya mudah, disamakan saja menunya nanti tinggal kalikan dua.

“Ca, ciloknya cuma ada yang manis, yang pedas sudah dilibas habis sama anak-anak di kelas sebelah, nampaknya mereka ada pesta, ribut bener kelas mereka dari luar aku dengar tadi pas lewat.”

Caca menoleh, tapi matanya … dia nangis?

“Buku mana kali ini yang bikin kamu nangis, weh?” Aku mengintip sampul depannya. Si Anak Kuat karya Tere Liye dengan sampul berilustrasi sederhana koper tua di tengah ruangan kosong, pilihan warnanya lembut dengan warna judul yang mencolok.

“Aku abis nangisin Kak Eli,” akunya sambil mengelap air matanya dengan tisu yang sudah butek kena banjir air matanya.

Aku duduk di depannya, meminjam kursi Rara yang lagi istirahat di luar. “Kak Eli kakaknya Amel, bukannya karakternya nyebelin katamu? Kenapa ditangisin?” Aku lanjut mengeluarkan jajanan dari plastik, menatanya rapi, memastikan buku-buku pelajaran nggak berada di area makan.

“Aku nggak pernah bilang dia nyebelin, kataku Amel nganggep kakaknya begitu. Padahal mah aslinya, understandable banget karakternya.” Caca menutup bukunya lalu meletakannya rapi ke dalam kolong meja. Caca meraih salad sayur sebagai pembuka, bagus buat pencernaan katanya tiap kali aku tanyain, karena di lidahku lebih enak yang segar-segar seperti salad di akhir, tapi ternyata justru seperti sayur atau buah malah baik di awal, setelahnya baru daging-dagingan, dan ditutup dengan yang manis atau gula tinggi kalau mau. Karena sering lihat Caca begitu, lama kelamaan aku jadi ikut kebiasaannya.

“Ah, iya bener, kamu pernah bilang begitu. Jadi, gimana? Kenapa kamu bisa tangisin Kak Eli, apa karakternya dibikin mati sama penulis?”

Ubunku langsung ditimpuk pelan dengan garpu salad, sepertinya aku salah tebak.

“Ceritanya baru mulai, ya! Masa langsung mati di depan? Lagipula ini serial Bunda, nggak ada yang mati tokoh utamanya,” Caca mengomel pelan. Ujung garis bibirnya tertarik ke kanan, kebiasaannya kalau ngomel tapi juga gemes. Aku hanya menyengir angkat tangan, beralasan tidak mengerti.

“Jadi yang aku tangisin itu, gimana karakter Kak Eli di mataku begitu dewasa ditulis Kak Tere.”

Aku mengangguk-ngangguk sambil menikmati manisnya potongan tomat hari ini, asam manis yang pas segarnya melewati tenggorokanku.

“Nggak tau ya, akhir-akhir ini aku peka banget dengan karakter manusia, dan aku super jatuh cinta dengan karakter yang dewasa, baik itu dari segi usia, pengalaman, akal pikir, maupun kecerdasan emosionalnya.”

Mulutku masih sibuk mengunyah tapi aku sudah penasaran ingin bertanya, jadi kututup dulu mulut dengan telapak tangan. “Jadi gimana ceritanya Kak Eli tampak dewasa dari analisamu?”

“Aku spoiler nih, gapapa?”

Aku tersenyum, mengangguk. Aku sih, demen banget dapet spoiler.

“Jadi Amel sebel karena Kak Eli selalu keras sama dia, sampai dia percaya kalau Kak Eli itu ga mungkin sayang, pasti benci tiap liat Amel. Tapi itu salah paham, bapak pun sudah bicara hati ke hati sama Amel kalau Kak Eli nggak mungkin benci, justru sayang banget andai Amel mau menerima dan melihat dengan hati yang tulus.

“Sampai ada kejadian yang bikin keduanya terpaksa berinteraksi berdua aja. Pelan-pelan setelahnya Amel mulai sadar yang dibilang Bapak itu benar, Kak Eli sayang sama Amel, cuma memang caranya kadang bikin Amel salah paham. Akhirnya nih, Amel minta maaf sudah salah paham ke Kak Eli.

“Dan ini bagian favorit aku. Kak Eli menerima permintaan Amel, tapi juga mengakui kalau dirinya juga salah karena terlalu keras ke Amel.”

Aku berhenti mengunyah, tunggu dulu.

“Jadi kamu nangis karena Kak Eli juga mengakui kesalahannya? Hanya karena itu?”

“Iiih! Kamu nggak nangkep ya? Aku tuh terharu, sudah lama nggak lihat karakter yang dewasa. Biasanya kalau ada yang minta maaf, antara dia nggak benar-benar menerimanya serius jadi dibawa bercanda atau justru dia merasa yang minta maaf itu nggak perlu minta maaf malah jadi merasa rendah diri.

“Di mataku, Kak Eli dewasa karena dia menerima perasaan tulus Amel dan di saat yang sama dia juga sadar dengan perasaannya dan mau mengakui itu. Perasaan keduanya sama-sama diakui. Suka banget!”

Aku diam sebentar. Mencerna kalimatnya di otak.

“Alright, make sense. Tapi tetep aja sampai nangis?”

“Ah, sudahlah nggak ada gunanya ngomong sama anak T, diriku yang F ini nggak rela reaksi emosionalku yang mendalam ini malah dipertanyakan!”

Haha. Caca tampak beneran kesal kali ini.

--

--